Studio Ghibli bertanggung jawab atas sebagian film animasi 2D paling baik selama masa. Princess Mononoke, Spirited Away, My Neighbor Totoro, dan banyak lainnya …

Seringkali, penonton hanya mengenal animasi lewat Disney, mengingat kepadatan produk Abang Sam tersebar di seluruh dunia. Akibatnya, orang menjadi lebih akrab dengan Mickey Mouse, Donald Duck, Mufasa di Lion King dan banyak lagi.

Mungkin karena ini, nama Ghibli belum terdengar didalam sebagian tahun terakhir. Hingga akhirnya, film Spirited Away (2001), meledak di pasaran dan mengangkat profil rumah memproses Jepang ini.

Nama Ghibli diambil alih berasal dari bhs Arab. Ini artinya bahwa angin kering dan panas di padang pasir gurun kerap melintasi Mediterania. Para pendiri, Hayao Miyazaki dan Izao Takahata, memilih nama ini dengan harapan bahwa studio kreatif mereka bakal memberi tambahan angin fresh bagi industri kartun Jepang yang stagnan pada 1980-an.

Sejak awal, mereka berjuang untuk menjaga orisinalitas. Dari perspektif teknis, misalnya, tidak layaknya studio Hollywood, Ghibli tetap menjaga visual dua dimensi. Miyazaki dan Takahata menyesuaikan semuanya merasa berasal dari desain, adegan, pembuatan tempat, sampai karakter dengan pensil. Proses digitalnya dilaksanakan sesudah gambar tangan selesai. Ini hanya untuk memperkaya tampilan visual.

Jenis sistem ini butuh banyak saat dan butuh akurasi tinggi. Setiap film Ghibli, sebagaimana ditulis oleh South China Morning Post, butuh kurang lebih 1.200 bingkai foto. Jumlahnya sanggup melonjak menjadi 6000 untuk film tertentu. Setelah selesai, sutradara memasukkan adegan film ke didalam gambar. Miyazaki belum pulang selama seminggu penuh untuk selesaikan pekerjaannya.

Dalam sebuah wawancara dengan Roger Ebert, Miyazaki menyebutkan bahwa konsep 3D yang dirangkai dengan pc tidak benar-benar cocok untuk sistem kreatif Jepang. Miyazaki mengklarifikasi bahwa dia tidak dambakan terjebak, dan mengandalkan “pusaran air terkomputerisasi”. Karena ketidaksukaannya pada komputer, Miyazaki terhitung menggambarkan gambar 3D sebagai “tipis, dangkal, dan salah.”

Akibatnya, setiap gambar nampak didalam film Ghibli, meskipun didalam wujud karikatur, tetap pancarkan warna yang realistis. Alih-alih nampak lucu, gambar yang nampak lebih layaknya lukisan impresionis. Miyazaki dan Takahata memperbaikinya dengan benar-benar baik dan detail.

Bahkan, tidak seluruh pihak sanggup menerima kreativitas Miyazaki dan Takahata. Film-film Ghibli pertama, berasal dari Castle in the Sky (1986) sampai My Neighbor Totoro (1988), The Japan Times, tidak dijual di pasaran, meskipun ke dua film sekarang beroleh posisi klasik. Kegagalan ini memicu pendiri Ghibli membangun lagi masa depan perusahaan.

Namun, Ghibli langsung bangkit. Reputasinya dilestarikan oleh Kiki Delivery Service (1989), diadaptasi berasal dari novel Eiko Kadono. Sebuah film mengenai penyihir yang memutuskan untuk meninggalkan rumahnya untuk melacak pengalaman baru di kota besar ini terjual dengan baik pada tahun 1989. Keberhasilan ini diikuti oleh keberhasilan lain, merasa berasal dari Porco Rosso (1992) sampai Princess Mononoke (1997).

Di bawah kepemimpinan Chief Marketing Officer Toshio Suzuki, Ghibli capai kesepakatan dengan Disney pada tahun 1996. Di bawah perjanjian itu, film-film Ghibli bakal didistribusikan secara luas di Amerika Serikat dan luar negeri.

Namun, Perjanjian Ghibli-Disney tidak tetap berhasil tanpa masalah. Ada sebuah insiden di mana Ghibli mengirim pedang samurai ke kantor Miramax, yang saat itu dimiliki oleh Disney, dengan catatan yang menyebutkan “Tidak tersedia pemangkasan,” mengacu pada konsep Miramax selama 134 menit untuk memotong saat Putri Mononoke sehingga lebih ramah dengan publik Amerika.

Selain itu, Disney memainkan peran penting didalam versi Ghibli. Ini memuncak pada tahun 2001, ketika Miyazaki’s Spirited Away menjadi film terlaris selama masa di Jepang, mengalahkan Titanic dan memenangkan Oscar untuk Film Animasi Terbaik di oploverz.

Prestasi ini diraih dengan nama Ghibli dan Miyazaki, sampai-sampai mereka disebut “Dewa Animasi”.

Nyata namun dekat dan mudah diingat
Ada banyak dampak budaya international didalam film-film yang diproduksi oleh Ghibli, berasal dari karya-karya penulis layaknya Mary Norton, Diana Wayne Jones, sampai Ursula Lugin, cerita rakyat Jepang, zaman Italia kuno, sentuhan melodrama khas oleh Yasujiro Ozu dan Kenji Misoguchi.

Pengaruh-pengaruh yang tidak serupa ini memicu kisah-kisah Ghibli berputar di kurang lebih tiga hal: surealisme, cinta dan keluarga, berasal dari Nausica del Valle del Viento (1984) sampai Putri Kagoya (2013). Ketiga elemen ini adalah kisah memproses Ghibli yang sanggup menarik penonton ke dunia magis dan kenyataan pahit.

Misalnya, makam Takahata mengenai Fireflies (sisi lain berasal dari ras manusia) mengeksploitasi segi manusia yang emosional. Dengan latar belakang di Jepang sesudah Perang Dunia II, Grave of the Fireflies adalah kisah sepasang saudara laki laki yang lolos berasal dari kepanikan dan keputusasaan dan menyerah pada kematian. Kaya bakal detailnya, Takahata berhasil menggambarkan dampak perang pada kemanusiaan.

“Grave of the Fireflies adalah film penting karena menekankan [antara lain] nilai-nilai kehidupan. Selain menggambarkan tragedi dan penderitaan yang sukar dipulihkan sesudah perang, lewat film ini penonton diminta untuk secara aktif mengajukan pertanyaan: mengapa dan bagaimana Perang Dunia II terjadi, “Lim Ping Chu, seorang profesor studi Jepang, menyebutkan kepada BBC.

Film Ghibli tidak serupa berasal dari anime Jepang pada umumnya. Ketika banyak orang mengangkat isu fiksi ilmiah dengan latar belakang masa depan, Ghibli tetap bekerja di Bumi. Selain realitas sosial yang pahit, tersedia terhitung hubungan manusia yang hangat dan dunia anak-anak yang penuh warna.

Tema-tema ini kerap dikemas dengan elemen fiksi, layaknya yang diilustrasikan dengan menyadari didalam How’s Moving Castle (2004) atau My Neighbor Totoro (1988).

Tidak hanya itu, dunia Ghibli tidak mengetahui pahlawan, penjahat, kulit hitam atau kulit putih.

“Orang Barat cenderung beranggap kegelapan dan terang sebagai lawan: terang itu baik dan kegelapan itu buruk,” kata Miyazaki didalam sebuah wawancara pada 1988 tak lama sesudah pembebasan Totoro. “Tapi aku tidak setuju bahwa seluruh perihal sanggup diperlakukan dengan duplikasi layaknya itu. Bagi orang Jepang yang tidak berpikir begitu, para dewa berada didalam kegelapan.”

Inilah yang memicu film Ghibli terkenal di kalangan orang-orang berasal dari segala usia, bukan hanya anak-anak. Data window office Mojo menyatakan bahwa 11 film Ghibli meraup pendapatan $ 1,29 miliar di seluruh dunia, dengan ongkos biasanya $ 108 juta per film.

“Saya suka film. Saya studi berasal dari film. Saya melihat film ketika aku butuh inspirasi,” kata John Lasseter, pendiri Pixar dan direktur Toy Story and A Bug’s Life.

Besok tetap cerah
Enam tahun lalu, Miyazaki memberitakan bahwa ia bakal langsung pensiun. Dia dambakan menghabiskan saat bersantai, tanpa harus mengakhiri batas saat memproses dan animasi.

“Saya menyadari aku sudah memberitakan sebagian kali bahwa aku bakal pensiun. Tapi sekarang aku serius,” jelasnya, layaknya dilansir EW.

Lebih jelasnya, Miyazaki bakal secara resmi pensiun sesudah selesaikan filmnya yang ke sebelas, “Wind of Wind,” yang menceritakan pengalaman seorang pria yang merancang seorang pejuang Jepang selama Perang Dunia II.

Suzuki, kolega dan produser Miyazaki, Ghibli, menyebutkan ketentuan itu adalah “keputusan bersama”.

Basis yang dibangun Ghibli selama tiga dekade tetap kokoh. Miyazaki dan Takahata tidak lagi menghasilkan pekerjaan, namun kru migrasi siap mengirim.

Contohnya terhitung pembuat film dan kartunis layaknya Hiroyuki Morita (The Cat Returns, 2002), Yoshifumi Kondo (Whisper of the Heart, 1995) dan Mamoru Hosoda (Mirai, 2018). Mereka dikehendaki menjadi penerus Ghibli sesudah karakter Miyazaki dan Takahata pergi.

Dari sudut pandang artistik dan naratif, Ghibli tersedia di tangan seorang sutradara film yang berharap bahwa dia tidak bakal memicu banyak perubahan signifikan. Kisah-kisah mengenai keluarga, cinta, jagat raya anak-anak, dan ranah realisme magis tetap menjadi pilar utama berasal dari esensi film Ghibli di masa depan. Kemungkinan untuk mengeksplorasi dampak CGI terbuka juga.

Rencana sanggup dibuat. Namun, pengumuman itu sekali lagi mengubah dinamika tubuh Ghibli: Miyazaki menunda kalender pensiunnya sampai 2020, sesudah selesaikan karya barunya yang berjudul How To Live? Rupanya, Miyazaki tetap tidak sanggup melanjutkan.

“Ya, aku pikir anak-anak adalah pewaris berasal dari memori historis generasi sebelumnya. Dan itu, ketika mereka tambah tua, ingatan mereka melemah. Saya merasa harus memicu film yang sanggup dia tayangkan,” jelasnya didalam sebuah wawancara dengan The Guardian.