Indikator seorang mahasiswa sudah studi bersama baik adalah IPK (Indeks Prestasi Kumulatif). Jika IPK seorang mahasiswa Perguruan tinggi swasta, ia dinilai dapat manfaatkan kala dan peluang studi di universitas bersama baik supaya dapat mengerjakan tugas dan menjawab soal-soal ujian. Sebaliknya, jikalau rendah, orang lain amat barangkali berpandangan tidak baik perihal si pemilik IPK tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelas punya IPK yang tinggi adalah penting. Namun, pertanyaannya, adakah yang lebih penting berasal dari sekadar punya IPK tinggi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, aku mendambakan mengutip jawaban tidak benar seorang pengguna Quora bernama Aaron Yip, yang jawabannya sudah diterjemahkan bersama baik oleh Hikmat Gumilar.

Secara pribadi aku menyesal punya IPK tinggi. Saya merasa untungkan di dalam hidup ini — aku punya IPK prima selama SMA, terlihat lebih awal untuk masuk ke perguruan tinggi, menjadi dosen pembantu, menjadi lulusan terbaik bersama pujian tertinggi, dan punya karier impian. Saya amat bersyukur kepada orang-orang yang sudah menunjang saya, tetapi aku salah.

Setelah wisuda, seorang teman mengobrol bersama aku perihal pendidikan.

Ia meminta aku untuk mengangkat tangan.

Kalian termasuk dapat mencoba. Tolong angkat tangan.

Bisa angkat lebih tinggi lagi?

“Tentu,” kata aku sambil meluruskan lengan saya.

Setinggi itukah kamu dapat mengangkat tangan?

“Umm,” Saya regangkan lengan dan tangan aku lebih jauh.

Saya harus diminta tiga kali hingga aku mengangkat tangan aku hingga batasnya. Teman aku mengakhiri bersama berkata, “Mengapa kamu tidak mengangkat tangan setinggi itu kala pertama kali diminta?”

Usaha pertama aku 90%. Tangan aku sebetulnya sudah diangkat, sebuah bisnis yang wajar, tetapi jauh berasal dari yang terbaik. Setiap kali aku diberi jelas bahwa aku tidak lumayan bagus, aku tidak sepenuhnya memberikan yang terbaik. Inilah perilaku yang kita pelajari kala studi atau kuliah: hanya capai 90%.

Memperoleh IPK yang baik adalah kasus mengoptimalkan waktu. Untuk punya kala yang lumayan untuk mengikuti seluruh mata kuliah, kita lakukan usaha minimum untuk setiap mata kuliahnya dan pilih mata-mata kuliah yang kita kuasai saja. Ini salah. Yang terpenting itu bukanlah meraih nilai A.


Saya punya teman yang amat mengingatkan aku terhadap Hermione. Ia adalah tidak benar satu orang paling pintar dan paling bijak yang dulu aku temui. Di satu semester kala kuliah S1, ia lakukan riset untuk sebuah tugas makalah kelas perihal penggambaran Mercutio dalam adaptasi moderen berasal dari Romeo and Juliet. Ia telat tiga minggu kala menyerahkan makalahnya — yang, berdasarkan standar penilaian, harusnya meraih nilai E.

Saya tidak jelas mengapa ia lakukan hal itu.

Seminggu kemudian, dosennya — kepala jurusan dan seorang sarjana terkemuka— mengembalikan makalah itu bersama lebih dari satu perbaikan kecil dan berkata, “Ini makalah mahasiswa terbaik yang dulu aku baca selama sepuluh th. terakhir.”

Padahal teman aku ini mengambil alih jurusan fisika.

Tak lama sesudah merampungkan kuliah mekanika kuantumnya, ia mengambil alih jurusan ke pengetahuan computer dan, sepertinya dalam kala semalam saja, mengalahkan aku dalam bidang-bidang yang aku tekuni selama lebih dari satu tahun. Sebelum merampungkan S1-nya, ia lakukan riset mendalam dalam bidang robotika dan browser rendering untuk perusahaan teknologi besar yang mengakibatkan peramban web yang barangkali tengah kamu pakai. Ya, ia sukses mengakibatkan internet lebih cepat untuk satu miliar orang sebelum akan lulus S1.

Apa rahasianya? Ia hanya tetap merasa riang dan gembira bersama berbagai hal, apa pun norma sosial atau segala bentuk ukuran kesuksesan.

Jadilah seperti Hermione.

Habiskan waktumu bersama belajar. Habiskan waktumu untuk mencurahkan sepenuhnya terhadap suatu hal yang menurutmu amat menarik, atau temukan apa yang amat menarik minatmu. Cobalah jalan yang jarang dilalui orang lain, mengikuti mata kuliah yang kelihatan sukar dan berat, baca berbagai makalah penelitian dalam berbagai bidang ilmu, tanyakan pertanyaan-pertanyaan bodoh tanpa harus merasa malu, buatlah berbagai proyek yang sedikit ambisius, mulailah sebuah perusahaan perintis atau startup yang bermakna, bantu pengungsi, berusahalah untuk memandang dunia melalui mata orang lain— dan apa pun yang kamu lakukan, lakukan lebih berasal dari yang dulu kamu capai sebelumnya.